Panitia Kerja DPR tentang RUU Advokat merumuskan beberapa hal baru dalam rancangan yang kini masih terus digodok. Panja telah meminta pendapat dari sejumlah lembaga dan tokoh berkaitan dengan RUU Advokat. Salah satu yang kembali dimasukkan ke dalam RUU adalah ancaman sanksi pidana.
Dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ketentuan ancaman sanksi itu dimuat dalam Pasal 31. Rumusannya: Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 50 juta rupiah.
Rumusan itu telah mengancam posisi dosen-dosen di LBH kampus dan paralegal yang bekerja di lembaga-lembaga bantuan hukum. Paralegal LBH Jakarta malah sempat ditahan aparat Polres Jakarta Utara pada 2009 lalu menggunakan pasal tersebut. Dosen-dosen yang dipanggil polisi menggunakan Pasal 31 UU Advokat pun gerah.
Karena itu, sejumlah dosen mempersoalkan Pasal 31 UU Advokat ke Mahkamah Konstitusi. Melalui putusan No. 006/PUU-II/2004, Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan rumusan ancaman sanksi terhadap advokat. Tiga hakim konstitusi—HM Laica Marzuki, HAS Natabaya dan Achmad Roestandi—menyatakan pendapat berbeda atas putusan itu.
Kini, dalam rumusan sementara RUU Advokat, pasal ancaman pidana itu kembali dimuat, yakni di Pasal Pasal 25 dan 26. Anggota Panja RUU Advokat, Nudirman Munir, mengatakan masuknya kembali pasal ancaman pidana dimaksudkan untuk mencegah calo-calo perkara, yakni orang yang mengaku-ngaku sebagai pengacara. “Untuk meminimalisisasi adanya orang-orang yang mengaku pengacara,” ujarnya.
Sekilas ada perbedaan perumusan. Pasal 25 RUU menegaskan “setiap orang dilarang menjalankan profesi advokat tanpa memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang”. Selanjutnya, Pasal 26 RUU menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat tanpa memenuhi ketentuan yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 50 juta rupiah”.
Dosen hukum pidana FH Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, berpendapat rumusan Pasal 31 UU Advokat 2003 tidak terlalu berbeda dari rumusan Pasal 25 dan 26 RUU. Cuma, rumusan terbaru menghapus frasa ‘bertindak seolah-olah sebagai advokat’ yang dulu menjadi unsur Pasal 31. Rumusan baru juga memperkenalkan klausul pengecualian, yaitu ‘kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang’.
Dengan kalimat terakhir ini, maka larangan menjalankan profesi advokat menjadi mentah lagi. “Dibuka lagi kemungkinan ada orang lain yang bisa menjalankan profesi advokat kalau undang-undang lain menentukan secara khusus,” jelas Eva kepada hukumonline.
Eva Achjani Zulfa menilai penerapan ancaman pidana dalam Pasal 25 dan 26 RUU (jika sudah disahkan tanpa perubahan -red) tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi kalau perspektif yang digunakan masih sempit, dalam arti terbatas pada perkara pidana. Bagaimana dengan orang yang melakukan pendampingan di pengadilan agama atau perkara perdata? Eva menggarisbawahi pentingnya memperjelas pengertian profesi advokat. “Yang perlu diperjelas adalah pengertian pekerjaan profesi advokat,” tegasnya.
Pasal pengecualian dalam RUU, diakui anggota Panja DPR Nudirman Munir, merujuk pada UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Berdasarkan Undang-Undang ini, dosen dan paralegal bisa memberikan konsultasi dan bantuan hukum kepada masyarakat miskin pencari keadilan. “Berdasarkan Undang-Undang Bantuan Hukum itulah mereka bertitik tolak,” tandas politisi Partai Golkar itu.
Mantan Direktur LBH Jakarta, Asfinawati, dapat memahami jika maksud pembuat RUU Advokat adalah untuk melindungi masyarakat dari orang-orang yang mengaku pengacara. Tetapi ia meminta Panja DPR memperhatikan sungguh-sungguh putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah membatalkan rumusan Pasal 31 UU Advokat. (hukum0nline.com)