OJK Perlu Koordinasi dengan Bank


Sebelum peralihan tugas pengawasan dan pengaturan perbankan berpindah dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diperlukan adanya koordinasi yang baik antara OJK dengan pihak perbankan. Menurut Senior Vice President Bank Mandiri Himawan Edhy Subiantoro, koordinasi diharapkan bisa membantu tugas dan fungsi OJK di bidang perbankan.
"Ada koordinasi yang baik antara OJK dengan bank khususnya dalam hal pengawasan," kata Himawan dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia, Depok (11/3).
Koordinasi ini, lanjut Himawan, bisa dalam bentuk kerjasama yang efektif dengan menerapkan pola hubungan antara OJK bersama perbankan seperti mitra. Selain itu, penerapan regulasi yang dikeluarkan BI otomatis harus ditindaklanjuti oleh OJK saat peralihan tugas dan fungsi yang akan berlaku tahun 2014.
Akademisi Yunus Husein menilai, posisi OJK dalam mengawasi jasa keuangan di Indonesia sangat penting. Apalagi terkait pengawasan dan pengaturan di bidang perbankan yang rata-rata memiliki aset besar dalam menjalankan roda bisnisnya. "Dalam sistem keuangan, bank dominan, hampir 80 persen di Indonesia," kata mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu.
Namun, kata Staf Ahli Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) itu, koordinasi dan kolaborasi dengan lembaga lain tidaklah semudah yang dibayangkan. Pasalnya, dari hasil yang diteliti UKP4 selama ini, kerap terjadi ego sektoral dan intervensi di instansi pemerintah dan lembaga negara dalam menjalankan tugas.
"Padahal pemberantasan kejahatan yang efektif adalah bekerjasama," katanya.
Menurut Yunus, masa transisi seperti sekarang ini merupakan waktu yang tepat bagi OJK dalam menjaring koordinasi dengan pihak lain. Ia berharap, tak ada ego sektoral di antara lembaga jika ingin kerjasama bisa terwujud dengan baik. Selain itu, memiliki sifat saling menghargai dan berkomunikasi merupakan jalan terbaik dalam bekerjasama.
"Di negara lain ada yang berhasil ada yg kurang berhasil. Yang berhasil seperti di Jepang dan Korea. Kalau gagal seperti di Inggris yang dikembalikan ke bank sentral. OJK harus pelajari kenapa dia gagal supaya tidak terulang lagi," tutur Yunus.
Di tempat yang sama, Deputi Komisioner OJK bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Sri Rahayu Widodo, mengakui diperlukannya koordinasi yang baik antara OJK dengan lembaga lain. Misalnya, dengan BI. Kedua lembaga ini, menurutnya, sama-sama saling memerlukan satu sama lain terlebih dalam hal mengambil kebijakan.
"Karena OJK yang tangani mikro prudensial tanpa informasi data dari bank sentral tak bisa berjalan. Sebaliknya, BI tanpa OJK tak bisa berjalan lancar dalam mengambil kebijakan moneter. Karena satu institusi tanpa institusi lain tidak akan berjalan efektif," kata Rahayu.
Rahayu mengatakan, koordinasi sudah terlihat saat adanya Anggota Dewan Komisoner OJK yang berstatus ex officio dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menurutnya, keberadaan dua anggota dewan komisioner ex officio ini menyangkut permintaan informasi dan data yang diperlukan OJK dari BI maupun Kemenkeu.
"Karena anggota dewan komisioner yang ex officio bisa dengan cepat berikan informasi tentang kebijakan atau langkah apa yang ditempuh di bidangnya," ujarnya.
Meski begitu, pengambilan keputusan tetap berada dalam rapat dewan komisioner yang seluruhnya berjumlah sembilan orang itu. Dengan begitu, lanjut Rahayu, tak perlu ada kekhawatiran terjadinya intervensi. "Komunikasi melalui rapat dewan komisioner," ujarnya.
Ia mengatakan, salah satu pertimbangan dibentuknya OJK yang mengawasi dan mengatur di bidang perbankan, pasar modal serta lembaga keuangan lainnya lantaran konglomerasi bisnis di bidang keuangan sangat besar. Seperti yang dilakukan Bank Mandiri, selain bank, perusahaan plat merah itu juga memiliki anak usaha lain di bidang sekuritas, pembiayaan serta asuransi.
Atas dasar itu, agar pengawasan dan pengaturan dapat berjalan secara terintegrasi maka diperlukan sebuah lembaga yang mengawasi seluruh bisnis itu. "Sehingga diperlukan pengawasan yang terintegrasi dan bisa dilihat secara utuh. Sehingga dalam aturan prudensialnya harus dilakukan mitigasi risiko secara terkonsolidasi, termasuk dalam laporan keuangannya," pungkasnya. (hukumonline.com)