MIRANDA RULE adalah merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka / terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau dihadirkan Penasihat Hukum sejak dari proses penyidikan sampai dan/atau dalam semua tingkat proses peradilan.
MIRANDA RULE adalah merupakan hak konstitusional yang bersifat universal dihampir semua negara yang berdasarkan hukum. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum pada dasarnya sangat menghormati MIRANDA RULE ini. Komitmennya terhadap penghormatan MIRANDA RULE telah dibuktikan dengan mengadopsi MIRANDA RULE ini ke dalam system Hukum Acara Pidana kita yaitu sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) UU No.8 tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP.
Secara umum prinsip Miranda Rule (miranda principle) yang terdapat dalam KUHAP yang menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada di dalam BAB VI UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, sedang secara khusus prinsip miranda rule atau miranda principle terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sbb : “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka”
Perlu diketahui bahwa yang ingin dicapai dan/atau ditegakkan di dalam prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) tentang KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri Tersangka / Terdakwa, sebab dengan hadirnya Penasihat Hukum untuk mendampingi , membela hak-hak hukum bagi tersangka atau terdakwa sejak dari proses penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan dimaksudkan dapat berperan melakukan kontrol, sehingga proses pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan dan kekejaman yang dilakukan penegak hukum dalam proses peradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM atau Hak Asasi Manusia ( vide : pasal 33, pasal 3 ayat (2), pasal 5 ayat (2), pasal 17, pasal 18 ayat (1) dari UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ] di samping itu adanya kontrol oleh Penasihat Hukum terhadap jalannya pemeriksaan tersangka selama dalam proses persidangan di pengadilan. Berdasarkan uraian dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dalam tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada Tersangka / Terdakwa harus diancam dengan pidana mati atau 15 (lima belas) tahun atau lebih atau yang tidak mampu di-ancam dengan pidana 5 ( lima ) tahun atau lebih yang tidak punya Penasihat Hukum sendiri, Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka (tersangka/terdakwa) ;
2. Pemeriksaan penyidikan yang tersangkanya tidak didampingi Penasihat Hukum sesuai dengan kerangka pasal 114 Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka hasil pemerik-saan penyidikan tersebut adalah tidak sah atau batal demi hukum, karena bertentangan dengan hukum acara ( undue process ) ;
Berdasarkan pasal 56 ayat (1) KUHAP Jo. Pasal 365 (4) KUHP, bila dikaitkan dengan berita KR tanggal 10 Agustus 2007 pada halaman “Hukum & Kriminal” dengan judul “Terdakwa Minta Didampingi Pengacara, Tembak Korban, Jambret Diadili”. Dalam kasus ini Majelis Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta sebelum memeriksa perkara terdakwa lebih lanjut, harus terlebih dahulu mencarikan atau menunjuk Pengacara/Advokat sebagai Penasihat Hukum bagi Terdakwa di dalam pemeriksaan perkara tersebut, apalagi Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaannya menjerat terdakwa dengan pasal 365 ayat (4) KUHP dengan ancaman pidana mati.
Dan kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi terdakwa tidak bisa ditawar-tawar karena bersifat imperatif, dan tidak harus menunggu atau bergantung pada inisiatif pihak keluarga terdakwa yang mencarikan Penasihat Hukum bagi terdakwa.
Sudah saatnya semua pejabat penegak hukum dalam semua tingkat proses peradilan pidana di negeri ini harus menghormati UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, khususnya tentang Miranda Rule yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Semoga.
MIRANDA RULE adalah merupakan hak konstitusional yang bersifat universal dihampir semua negara yang berdasarkan hukum. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum pada dasarnya sangat menghormati MIRANDA RULE ini. Komitmennya terhadap penghormatan MIRANDA RULE telah dibuktikan dengan mengadopsi MIRANDA RULE ini ke dalam system Hukum Acara Pidana kita yaitu sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) UU No.8 tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP.
Secara umum prinsip Miranda Rule (miranda principle) yang terdapat dalam KUHAP yang menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada di dalam BAB VI UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, sedang secara khusus prinsip miranda rule atau miranda principle terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sbb : “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka”
Perlu diketahui bahwa yang ingin dicapai dan/atau ditegakkan di dalam prinsip Miranda Rule yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) tentang KUHAP adalah agar terjamin pemeriksaan yang fair dan manusiawi terhadap diri Tersangka / Terdakwa, sebab dengan hadirnya Penasihat Hukum untuk mendampingi , membela hak-hak hukum bagi tersangka atau terdakwa sejak dari proses penyidikan sampai pemeriksaan di pengadilan dimaksudkan dapat berperan melakukan kontrol, sehingga proses pemeriksaan terhindar dari penyiksaan, pemaksaan dan kekejaman yang dilakukan penegak hukum dalam proses peradilan yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM atau Hak Asasi Manusia ( vide : pasal 33, pasal 3 ayat (2), pasal 5 ayat (2), pasal 17, pasal 18 ayat (1) dari UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ] di samping itu adanya kontrol oleh Penasihat Hukum terhadap jalannya pemeriksaan tersangka selama dalam proses persidangan di pengadilan. Berdasarkan uraian dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dalam tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada Tersangka / Terdakwa harus diancam dengan pidana mati atau 15 (lima belas) tahun atau lebih atau yang tidak mampu di-ancam dengan pidana 5 ( lima ) tahun atau lebih yang tidak punya Penasihat Hukum sendiri, Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi mereka (tersangka/terdakwa) ;
2. Pemeriksaan penyidikan yang tersangkanya tidak didampingi Penasihat Hukum sesuai dengan kerangka pasal 114 Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHAP, maka hasil pemerik-saan penyidikan tersebut adalah tidak sah atau batal demi hukum, karena bertentangan dengan hukum acara ( undue process ) ;
Berdasarkan pasal 56 ayat (1) KUHAP Jo. Pasal 365 (4) KUHP, bila dikaitkan dengan berita KR tanggal 10 Agustus 2007 pada halaman “Hukum & Kriminal” dengan judul “Terdakwa Minta Didampingi Pengacara, Tembak Korban, Jambret Diadili”. Dalam kasus ini Majelis Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta sebelum memeriksa perkara terdakwa lebih lanjut, harus terlebih dahulu mencarikan atau menunjuk Pengacara/Advokat sebagai Penasihat Hukum bagi Terdakwa di dalam pemeriksaan perkara tersebut, apalagi Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaannya menjerat terdakwa dengan pasal 365 ayat (4) KUHP dengan ancaman pidana mati.
Dan kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi terdakwa tidak bisa ditawar-tawar karena bersifat imperatif, dan tidak harus menunggu atau bergantung pada inisiatif pihak keluarga terdakwa yang mencarikan Penasihat Hukum bagi terdakwa.
Sudah saatnya semua pejabat penegak hukum dalam semua tingkat proses peradilan pidana di negeri ini harus menghormati UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, khususnya tentang Miranda Rule yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) KUHAP. Semoga.