Pasal 244 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Pasal 244 KUHAP ini adalah satu-satunya landasan hukum untuk melakukan upaya hukum kasasi di dalam perkara pidana, dan seperti kita ketahui jika disimak di dalam pasal tersebut kata demi kata tidak ada kata-kata yang menerangkan putusan ‘bebas murni’ atau ‘putusan bebas tidak murni’. Bahwa memang semua putusan Pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judexfactie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Ketentuan ini ditegaskan di dalam pasal 244 KUHAP sebagaimana dikutip di atas. Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi. Jika dicermati sebenarnya di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”. Tapi dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni, entah dari mana dan siapa yang melakukan dikotomi per istilah an tersebut. Yang jelas Penuntut Umum beranggapan putusan yang ‘bebas tidak murni’ dapat dilakukan upaya hukum kasasi.
Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.
Sedangkan dalil hukum yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi ”.
Intinya TPP KUHAP ini menegaskan perlunya Yurisprudensi yang dijadikan rujukan atau referensi untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Jadi kalau dipertanyakan apa kriteria TPP KUHAP terhadap kalimat “.. berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.” TPP KUHAP tidak memberikan kriteria yang tegas selain hanya berdasarkan penafsiran sepihak dari Jaksa/Penuntut Umum. Padahal kita sangat tahu betul bahwa TPP KUHAP adalah merupakan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) dan Keputusan Menteri Kehakiman ini derajadnya jauh di bawah Undang-undang, dalam hal ini adalah UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP yang merupakan produk Legislatif dan eksekutif. Sehingga TPP KUHAP yang berkaitan tentang itu isinya bertentangan dengan KUHAP itu sendiri, sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah cacat hukum dan tidak boleh ditoleransi.
Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat lagi dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP tersebut, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang telah menjadi yurisprudensi sejak tahun 2000 bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam TAP MPR RI No. III tahun 2000 telah menetapkan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu : 1) UUD 1945 ; 2) Ketetapan MPR RI ; 3) Undang-undang ; 4).Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) ; 5).Peraturan Pemerintah ; 6) Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur ; dan 7). Peradturan daerah ;.
Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas “opportunity” yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran “Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas “opportunity” melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan “Yurisprudensi” harus ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya.
Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di samping bertentang dengan TAP MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi lex inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya )
Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judexfactie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Ketentuan ini ditegaskan di dalam pasal 244 KUHAP sebagaimana dikutip di atas. Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi. Jika dicermati sebenarnya di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”. Tapi dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni, entah dari mana dan siapa yang melakukan dikotomi per istilah an tersebut. Yang jelas Penuntut Umum beranggapan putusan yang ‘bebas tidak murni’ dapat dilakukan upaya hukum kasasi.
Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.
Sedangkan dalil hukum yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi ”.
Intinya TPP KUHAP ini menegaskan perlunya Yurisprudensi yang dijadikan rujukan atau referensi untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Jadi kalau dipertanyakan apa kriteria TPP KUHAP terhadap kalimat “.. berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.” TPP KUHAP tidak memberikan kriteria yang tegas selain hanya berdasarkan penafsiran sepihak dari Jaksa/Penuntut Umum. Padahal kita sangat tahu betul bahwa TPP KUHAP adalah merupakan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) dan Keputusan Menteri Kehakiman ini derajadnya jauh di bawah Undang-undang, dalam hal ini adalah UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP yang merupakan produk Legislatif dan eksekutif. Sehingga TPP KUHAP yang berkaitan tentang itu isinya bertentangan dengan KUHAP itu sendiri, sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah cacat hukum dan tidak boleh ditoleransi.
Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat lagi dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP tersebut, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang telah menjadi yurisprudensi sejak tahun 2000 bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam TAP MPR RI No. III tahun 2000 telah menetapkan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu : 1) UUD 1945 ; 2) Ketetapan MPR RI ; 3) Undang-undang ; 4).Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) ; 5).Peraturan Pemerintah ; 6) Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur ; dan 7). Peradturan daerah ;.
Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas “opportunity” yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran “Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas “opportunity” melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan “Yurisprudensi” harus ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya.
Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di samping bertentang dengan TAP MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi lex inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya )