Tidak dapat dipungkiri sebenarnya publik banyak yang merasa tidak puas dan frustrasi atas kinerja birokrasi dan geliat upaya reformasi birokrasi selama ini baik di internal birokrasi sendiri yang sering terjadi keributan dan kehebohan, karena sedang berubah atau dipaksa berubah oleh tuntutan keadaan, dimana keadaan yang mengharuskan birokrasi punya totalitas kinerja dan etos semangat kerja yang baik dalam melayani publik.
Birokrasi sebagai pengemban amanat pelayanan publik sedang dihadapkan dalam suatu ”dilema”. Disatu sisi publik menuntut pelayanan publik harus baik, efektif, efisien, transparan dan akuntabel, namun di sisi lain, semakin banyak konsep, aturan dan petunjuk teknis perbaikan kenerja birokrasi yang harus diterapkan dalam situasi sumber daya manusianya atau SDM yang lemah, lamban dalam system yang dijalankan selama ini mengarah pada perbuatan korup.
Keluarnya Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan daerah dan Perpres No.80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa beserta aturan perubahannya yang rigid/kaku sehingga hampir mustahil aturan tersebut dapat dipenuhi atau diterapkan di lapangan, bahkan tidak mustahil sebenarnya mereka seringkali terjebak dalam lingkaran setan aturan-aturan yang rumit, kaku, berjibun, dan tumpang-tindih yang justru menciptakan jurang-jurang jebakan bagi birokrasi itu sendiri.
Birokrat sebenarnya dihadapkan pada kemungkinan keterkaitan kesalahan/penyimpangan pengelolaan administrasi negara dengan konsekuensi munculnya resiko tuduhan Tindak Pidana Korupsi yang unsur-unsurnya begitu rawan ada diancam dalam UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001.
Sebagai contoh tiadanya aturan yang jelas terhadap pengelolaan dana Non Budgeter menjadi pelajaran berharga dimana seperti kita ketahui pengelolaan dana non budgeter ini satu demi satu pengelolanya tersangkut dalam jeratan tindak pidana korupsi dan telah divonis bersalah oleh hakim dan hampir semuanya masuk dalam penjara.
Belum lagi banyaknya fenomena ngendon-nya duit pemerintah daerah dalam bentuk ”Sertifikat Bank Indonesia” (SBI), karena tidak sedikit pemerintah daerah sekarang ini banyak yang sangat hati-hati bahkan takut menjalankan program pembangunan, takut menjadi pimpinan proyek, dimana salah-salah bisa dikeler masuk bui/penjara.
Fenomena sindrome semacam ini akan sangat kontra-produktif dengan upaya pemerintah dalam membangun bangsa dan negara ini kearah yang lebih baik dan maju dimana upaya pembangunan itu sebagian besar dijalankan melalui pintu birokrasi.
Fakta tersebut semuanya sudah menjadi fenomena umum birokrasi saat ini. Suasana birokrasi seperti itu tentu tidak akan membuahkan hasil dalam perbaikan atau upaya memberikan pelayanan publik Padahal tuntutan kinerja yang tinggi untuk melayani publik sangat membutuhkan kreativitas dan inovasi yang tinggi dari segenap SDM Birokrasi atau Pegawai Negeri.
Jika sasaran akhir yang ingin dicapai dalam perbaikan system birokrasi adalah segalanya demi kepentingan publik, maka aturan yang diterapkan dalam birokrasi harus dapat menumbuhkan kreatifitas dan inovasi dalam melayani publik tanpa mengabaikan substansi aturan yang ada.
Maka untuk menghindari posisi dilematis birokrasi tersebut di atas, perlu penulis sarankan sebagai berikut :
Pertama : Berdayakan Biro Hukum yang ada disetiap Pemerintah Daerah, guna memberikan nasihat-nasihat hukum bagi pengelola birokrasi dan pengambil keputusan agar tidak tersangkut masalah ”korupsi” kalau perlu jalin kerjasama dengan Lembaga Advokat atau para Advokat yang dianggap baik ;
Kedua : Harus ada perbaikan struktural, bangun budaya disiplin dan mekanisme pengawasan yang baik serta lakukan reformasi birokrasi secara terus-menerus dengan mensinkronisasikan aturan-aturan yang berkembang yang berlaku untuk itu ;
Ketiga : Motovasi para Pegawai Negeri sebagai SDM birokrasi agar mereka mau meningkatkan kualitas kinerjanya, moralitasnya dan dedikasinya dengan jalan menganjurkan yang bersangkutan agar terus belajar dan belajar agar kelak menjadi birokrat yang handal yang dikemudian hari kelak diharapkan lebih mampu memberikan pelayanan terbaiknya bagi publik. Karena kualitas birokrasi kita adalah barometer suksesnya pembangunan nasional.
Birokrasi sebagai pengemban amanat pelayanan publik sedang dihadapkan dalam suatu ”dilema”. Disatu sisi publik menuntut pelayanan publik harus baik, efektif, efisien, transparan dan akuntabel, namun di sisi lain, semakin banyak konsep, aturan dan petunjuk teknis perbaikan kenerja birokrasi yang harus diterapkan dalam situasi sumber daya manusianya atau SDM yang lemah, lamban dalam system yang dijalankan selama ini mengarah pada perbuatan korup.
Keluarnya Permendagri No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan daerah dan Perpres No.80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa beserta aturan perubahannya yang rigid/kaku sehingga hampir mustahil aturan tersebut dapat dipenuhi atau diterapkan di lapangan, bahkan tidak mustahil sebenarnya mereka seringkali terjebak dalam lingkaran setan aturan-aturan yang rumit, kaku, berjibun, dan tumpang-tindih yang justru menciptakan jurang-jurang jebakan bagi birokrasi itu sendiri.
Birokrat sebenarnya dihadapkan pada kemungkinan keterkaitan kesalahan/penyimpangan pengelolaan administrasi negara dengan konsekuensi munculnya resiko tuduhan Tindak Pidana Korupsi yang unsur-unsurnya begitu rawan ada diancam dalam UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001.
Sebagai contoh tiadanya aturan yang jelas terhadap pengelolaan dana Non Budgeter menjadi pelajaran berharga dimana seperti kita ketahui pengelolaan dana non budgeter ini satu demi satu pengelolanya tersangkut dalam jeratan tindak pidana korupsi dan telah divonis bersalah oleh hakim dan hampir semuanya masuk dalam penjara.
Belum lagi banyaknya fenomena ngendon-nya duit pemerintah daerah dalam bentuk ”Sertifikat Bank Indonesia” (SBI), karena tidak sedikit pemerintah daerah sekarang ini banyak yang sangat hati-hati bahkan takut menjalankan program pembangunan, takut menjadi pimpinan proyek, dimana salah-salah bisa dikeler masuk bui/penjara.
Fenomena sindrome semacam ini akan sangat kontra-produktif dengan upaya pemerintah dalam membangun bangsa dan negara ini kearah yang lebih baik dan maju dimana upaya pembangunan itu sebagian besar dijalankan melalui pintu birokrasi.
Fakta tersebut semuanya sudah menjadi fenomena umum birokrasi saat ini. Suasana birokrasi seperti itu tentu tidak akan membuahkan hasil dalam perbaikan atau upaya memberikan pelayanan publik Padahal tuntutan kinerja yang tinggi untuk melayani publik sangat membutuhkan kreativitas dan inovasi yang tinggi dari segenap SDM Birokrasi atau Pegawai Negeri.
Jika sasaran akhir yang ingin dicapai dalam perbaikan system birokrasi adalah segalanya demi kepentingan publik, maka aturan yang diterapkan dalam birokrasi harus dapat menumbuhkan kreatifitas dan inovasi dalam melayani publik tanpa mengabaikan substansi aturan yang ada.
Maka untuk menghindari posisi dilematis birokrasi tersebut di atas, perlu penulis sarankan sebagai berikut :
Pertama : Berdayakan Biro Hukum yang ada disetiap Pemerintah Daerah, guna memberikan nasihat-nasihat hukum bagi pengelola birokrasi dan pengambil keputusan agar tidak tersangkut masalah ”korupsi” kalau perlu jalin kerjasama dengan Lembaga Advokat atau para Advokat yang dianggap baik ;
Kedua : Harus ada perbaikan struktural, bangun budaya disiplin dan mekanisme pengawasan yang baik serta lakukan reformasi birokrasi secara terus-menerus dengan mensinkronisasikan aturan-aturan yang berkembang yang berlaku untuk itu ;
Ketiga : Motovasi para Pegawai Negeri sebagai SDM birokrasi agar mereka mau meningkatkan kualitas kinerjanya, moralitasnya dan dedikasinya dengan jalan menganjurkan yang bersangkutan agar terus belajar dan belajar agar kelak menjadi birokrat yang handal yang dikemudian hari kelak diharapkan lebih mampu memberikan pelayanan terbaiknya bagi publik. Karena kualitas birokrasi kita adalah barometer suksesnya pembangunan nasional.